Karapan Sapi, Sejarah dan Sekarang

Tak sekedar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun, tak hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat bagi masyarakat madura. 


Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. 

Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen.
Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang.
(Wikipedia)
 


Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong” (wisatanesia). Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi .
Sejarah munculnya karapan sapi pun tak luput dari keragaman versi. Tak dapat dibuktikan secara pasti sejarah karapan sapi. Berikut tiga versi berbeda karapan sapi :


Pertama

Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13. Beliau bernama asli Habib Ahmad Baidawi yang bergelar pangeran Katandur atau Pangeran Sinandur artinya yang menanam. Beliau mempelajari bidang pertanian. Tujuan utamanya adalah menyiarkan agama Islam. Ayahnya bernama Habib Sholeh dengan gelar panembahan Pakaos putra dari Sunan Kudus. Beliau adalah wali songo. Jadi Pangeran Katandur merupakan keturunan atau cucu dari Sunan Kudus.


Menurut ceritanya sebelum kedatangan Pangeran Katandur, tempat ini merupakan daerah yang sangat tandus sehingga tidak ada tanaman yang hidup, namun keadaan berubah ketika beliau hadir. Awalnya ingin memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.


Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.


Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”.

Kedua

Kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat 

Ketiga
Kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu.


Dua dari versi tersebut mengemukakan bahwa mereka mereka menggunakan karapan sapi sebagai sarana untuk menyebarkan agama islam. Namun yang terlihat sekarang adalah karapan sapi merupakan perayaan, tradisi secara turun-menurun, dan yang pasti pelaksanaannya tak sama seperti yang terjadi pada abad 13-14.

Demi sebuah kebanggan dimana dapat memenangkan perlombaan, apapun akan dilakukan agar sang sapi dapat berlari kencang, mulai dari lecutan paku, olesan balsem di bagian mata, serta ritual lainnya. Tak hanya gengsi kemenangan yang lebih menarik adalah sapi yang tangguh akan berharga hingga ratusan juta rupiah. Pun tak dapat dipungkiri taruhan dari recehan hingga taruhan orang berdasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © efchalisto